Author: toni
•08.29
Wah, akhirnya jadi juga berangkat
jalan-jalan yang satu ini beda dari biasanya
gratis tis
full service
menyenangkan
dan yang paling penting, dapat ilmu baru men
hehehehehe

yasudah deh
mending liatin foto-foto aja ya
sambil kasih beberapa penjelasan

selamat menikmati

lokasi pertama candi gunung gangsir
ada satu hal yang menarik saya
di awal saya mencari tahu apa fungsi candi ini
jawaban yang saya dapat, candi ini untuk pemujaan
nah, waktu naik, tangganya curam banget
ga manusiawi lah
cuma yang jadi pertanyaan saya, apa tangganya kayak gitu karena rekonstruksinya hanya bisa seperti itu saja karena batu sisanya hilang?
atau mungkin memang aslinya seperti itu?
buat saya, kalo memang aslinya susah banget kayak gitu, semacam ada upaya dari si arsiteknya untuk membuat pengunjung merasakan makna dari tempat ini
sebelum melakukan pemujaan, pengunjung harus bersusah payah dulu
seperti ada sebuah pengorbanan, usaha yang lebih, atau sesuatu yang menunjukkan kesungguhan si pengunjung
susah payahnya si jamaah bisa dilanjutkan di titik selanjutnya, yaitu ruang pemujaan di lubang dibagian tengah candi
pengap, gelap, sempit dan tinggi
seprtinya dirancang supaya jamaahnya khusyuk waktu beribadah
wow, sederhana sih
tapi dapet
barang lama gini ternyata juga ngasih ilmu men
hehehehe
makanya, jangan dirusak ya

nah, ini nih tempat kita nginep
ayer dingin resort
punya pak Andi Ming (dipanggil Andi Koboi sama anak-anak)
yang asik dari tempat ini, bangunan untuk nginep kayak gini semua

rumah kayu
diambil dari tempat lain, dibongkar, terus dipasang lagi disini
daripada dibongkar terus ga jelas juntrungannya
boleh juga usahanya Pak Andi
tapi, ada beberapa hal yang waktu masang, ga dibikin sama dengan aslinya
si empunya pengen ngawinkan sama style Bali, walaupun ndak kelihatan jelas

kalo dilihat, bisa dibilang, ini adalah contoh arsitektur nusantara
tanggap gempa, tanggap iklim dan tanggap kelembapan
enak juga tidur di dalamnya
ga kalah sama tidur di dalam rumahjaman sekarang
hehehehe

yang ini lebih privat

ndak tau kenapa, saya suka banget sama foto ini. hehehehe

menu ceker mahut, enaknya ga karuan
 
 masih proses pembangunan. resortnya masih belum 100% jadi
 
 

tempat selanjutnya yang dikunjungi adalah candi jabhung
ndak tau kenapa, teman saya si rendi tiba-tiba nanya
kalo bentuknya gini, maskulin apa feminin?
saya jawab maskulin
hehehe
ternyata dia nanya karena menurut dia bentuknya mirip "sesuatu"
dibandingkan dengan yang di gunung gangsir, menurut saya yang satu ini lebih cantik
selain lebih utuh, ukirannya cantik-cantik, bentuknya lebih variatif
lain dengan candi yang pertama, pelajaran yang saya dapat bukan mengenai candinya itu sendiri
tapi lebih ke arah kawasannya

kenapa setiap pekerjaan konservasi selalu menyebut istilah core zone atau zona inti, terjawab waktu saya berada di sana
saya merasakan satu masalah, yang juga saya rasakan di candi-candi lain yang pernah saya kunjungi seperti di trowulan dsb
core zone itu, seharusnya merupakan zona yang steril
steril dari bangunan dan kegiatan lain yang menggangu dan membahayakan eksistensi objek cagar budaya
nah, yang ingin saya ungkapkan disini lebih ke area pusatnya
penataan pohon di candi ini kurang bagus
beberapa spot selalu mengganggu view ke arah candi
seharusnya, dalam jarak tertentu, sekeliling candi harus bersih dari vegetasi agar candi bisa lebih eksis dan dapat didokumentasikan (bukan cuma foto-foto lo ya) dengan lebih baik
beruntung, cuma masalah vegetasi
ndak seperti di trowulan yang core zonenya sudah diinvasi oleh industri batu bata yang merusak core zone
untungnya

destinasi selanjutnya
rumah pendalungan
pendalungan? apa itu?
dari yang saya dengar, pendalungan itu sebutan untuk orang madura yang merantau ke daerah lain (kalo ga salah)
biasanya masih membawa adat dan kebiasaan dari asalnya
tapi juga kena pengaruh dari daerah barunya
nah, kalo bicara arsitektur pendalungan, kurang lebih sama kayak orangnya
jadi dia dibawa dari daerah asalnya, madura
membawa rumah tanean lajeng ke paiton, probolinggo
tapi ada beberapa modifikasi
tanean lajeng dikenal memiliki tatanan khusus
di barat ada musholla keluarga
di timur ada lumbung hasil bumi
dan di sisi utara atau selatannya adalah jajaran rumah
setiap rumah, hanya diisi oleh satu keluarga
nah, kalo udah nikah, ada yang dibikin rumah baru dijajarannya, ada yang ikut pasangannya
sederhanya sih gitu
nah yang di paiton ini, tatanannya hampir sama
ada musholla, jajaran rumah, dan lumbung (tapi lumbungnya udah ilang buat lemari)
yang unik, rumahnya ga berupa jajaran rumah tunggal
tapi dua rumah yang dijadikan satu
dan jumlahnya ada dua rumah besar
jadi sebenarnya ada empat rumah
dan mereka udah ga nerapkan kebiasaan yang nikah harus keluar dari rumah (tinggal di rumah lain)
masih dibolehkan tinggal bersama

ada keunikan lain nih
dari depan, keliatannya lebar rumahnya sekitar 10-15 meter dan udah itu aja rumahnya (kayak keliatan di foto atas)
eh, dak taunya bagian belakang rumah, panjang banget
kayak di foto yang do bawah ini
satu rumah, ada empat atap pelana
bagian depan itu area publik yang disebut balai
atap kedua, itu isinya kamar tidur
atap ketiga itu ruang kayak ruang keluarga dan sebagainya
nah yang paling belakang, itu dapur

yang ini namanya balai


kurang lebih, itu yang saya bisa bagikan dari jalan-jalan saya dan kawan-kawan
vakansi yang menyenangkan karena gratis, full service, dapet ilmu dan kumpul-kumpul bareng keluarga sendiri
hehehehe

semoga bermanfaat
dan maaf karena kepanjangan

terima kasih








Author: toni
•07.00
jalan-jalan
sesuatu yang salah?
ah, cuma buang-buang duit
oh ya?
masih ada prioritas lain
mmmm....
mungkin cara berpikirnya yang berbeda

mumpung masih muda, ambil kesempatan jalan-jalan yang ada
karena kata sebuah artikel yang pernah saya baca, jalan-jalan itu membuka wawasan
ah, kan ga harus jalan-jalan?
baca buku aja
jarjiteru !

nilai sepeda motor atau benda lain, atau juga hal-hal lain dengan embel-embel prioritas dibandingkan sebuah perjalanan mungkin lebih tinggi
tapi entah kenapa, kadang sikap tidak harus melulu sama
perlu beda, unik, atau mungkin berontak

terserah sajalah
mungkin saja ini salah
tapi juga bisa saja benar

yang penting jalan-jalan
hahahahahahaha...

- O -


Author: toni
•06.29



Liburan kali ini cukup berbeda dari biasanya. Saya dan sahabat-sahabat pasukan kancil (minus Tata dan Mas Agung) berlibur secara maraton. Saya sebut maraton karena dalam waktu 7 hari, kami berlibur di enam lokasi yang berbeda. Lasem, Rembang (kota), Semarang, Ambarawa, Jogja, dan Solo. Ada banyak cerita, pelajaran, pengetahuan dan wawasan baru yang kami dapat. Didominasi dengan pengetahuan dan wawasan mengenai serba serbi Tionghoa (klenteng, sejarah, pecinan dll), kuliner khas dari tiap daerah yang kami kunjungi, kondisi sosial masyarakat, perkembangan sebuah kota, hingga pengalaman bertemu dengan orang-orang baru yang luar bisa.

Satu hal yang paling saya pahami dalam perjalanan kali ini. Jangan pernah remehkan sebuah daerah (kota besar, kota kecil, kabupaten atau apapun bentuknya). Beberapa tahun lalu saat pertama kali mengunjungi Rembang, saya terkejut karena apa yang saya amati dari Rembang, sangat berbeda dari judgement saya ketika dalam perjalanan menuju Rembang. Seperti dibuat malu, saya merasa begitu egois sebagai seorang yang berasal dari kota besar. Dan kunjungan saya yang kedua kali di Rembang, membuat saya semakin mengenal Rembang dan begitu juga daerah-daerah lain.

Seperti tulisan saya yang berjudul tiap kota punya warna, saya pun kini semakin berhasrat untuk mengunjungi kota-kota atau kabupaten-kabupaten lain di negara ini. Banyak potensi, cerita, kekayaan, dan hal-hal menarik lainnya yang ingin saya cari dari tempat-tempat tersebut.

Melalui postingan berikutnya, saya ingin berbagi tentang apa yang saya dapatkan. Namun, karena keterbatasan, maka akan saya cicil satu persatu. Hehehehehe. Dan sebagai awalan, foto-foto akan saya tampilkan dengan harapan dapat menarik minat Anda untuk berlibur dan akan saya berikan pula catatan keuangan dengan harapan dapat memberikan informasi yang dapat dijadikan persiapan sebelum berlibur. Selamat menikmati

d ^_^ b

Author: toni
•17.55

Kalo anak kecil umur tiga tahun, lagi lucu-lucunya. Lagi banyak-banyaknya pengen tahu. Suka heboh kesana kemari. Kita? Hahahahahaha. Ga jauh beda. Lagi semakin saling mengenal. Lagi heboh juga sama apa yang kita pengen capai, entah pribadi atau pencapaian bersama. Lucu? Mungkin. Hahahahaha.

Tiga tahun lalu cuma bisa bilang rasanya kok masih lama ya. Sekarang, ga kerasa ya. Hahahahaha. Sabar cuy!

Terima kasih sudah mau jadi partner saya.
Terima kasih sudah berbalas kentut dengan saya.
Terima kasih sudah mendukung dan menyemangati saya
Terima kasih sudah tahan bosan dengan saya

Terima Kasih
Semoga berlanjut selamanya
Amin ya Robbal Alamin
Author: toni
•05.21
Catatan hari kedua di Malaka
           
            Setelah berdiskusi sebentar di malam pertama kami di Malaka dan kemudian memutuskan tidur, saya dan teman-teman sekamar sepakat untuk menyiapkan alarmnya masing-masing agar kami semua bisa bangun lebih pagi. Waktu yang kami sepakati adalah saat jam sholat subuh. Saya lah orang pertama yang bangun pagi itu karena alarm saya yang paling keras. Tetapi lima teman saya yang lain, tak satu pun bangun. Saya pun kemudian membangunkan yang lain dan saya langsung menuju kamar mandi untuk mandi pagi dan mengambil air wudhu untuk persiapan sholat subuh. Kemudian saya pun siap untuk menunaikan sholat. Sajadah sudah digelar dan teman-teman lain bergantian mandi. Di rokaat kedua, alangkah kagetnya saya. Saya dan teman-teman lainnya mendengar suara azan subuh baru dikumandangkan. Sontak satu kamar menertawakan saya karena saya sholatnya kepagian. Hahahahahaha. Saya lupa kalau saya belum menyesuaikan jam sholat saya dengan waktu sholat setempat. Akhirnya saya dan seorang teman saya pun memutuskan untuk sholat di masjid dekat hostel kami sekalian mencatat jadwal sholat setempat selagi teman-teman yang lain bersiap diri.

 Masjid Kampung Kling

            Setelah sholat subuh, kami semua sudah siap untuk menikmati kota tua Malaka yang masih sangat sepi di pagi hari. Tapi, jalan-jalan pagi itu minus dosen kami, karena kami tidak enak mengganggu istirahat mereka. Tempat yang kami tuju adalah tempat duduk-duduk di pinggir sungai dekat jalan Laksamana (dekat Christ Church). Berjalan kaki sebentar dari hostel, kami pun akhirnya sampai. Kemudian kami memuaskan hasrat kami untuk berfoto ketika sunrise dan menikmati pinggiran sungai saat matahari mulai terbit. Melihat pantulan rumah-rumah Cina dari permukaan sungai yang tenang sambil mendengarkan kicauan burung yang jumlahnya sangat banyak. Burung-burung tersebut rupanya semalaman tinggal di pohon besar dekat Victoria fountain yang memang mungkin menjadi tempat tinggal mereka di malam hari. Setelah matahari sedikit terlihat lebih tinggi, mereka pun satu persatu terbang menuju ke arah yang berbeda-beda secara berkelompok. Luar biasa, sebuah pemandangan yang tidak pernah saya dapatkan di kota asal saya. Tidak rugi rasanya saya bangun kepagian. Hehehehehe.

 Kawasan sekitar sungai


 Panorama sekitar sungai

 Gerombolan burung keluar dari sarangsarangnya

            Setelah lama menikmati pagi, kami pun bertemu dengan anggota rombongan kami yang lain. Kami pun bergerak menuju sebuah kedai Cina untuk sarapan pagi. Pilihan menu pagi itu adalah mie. Baru kali ini saya makan di sebuah kedai Cina. Hahahahaha. Kelihatan udiknya. Selain cukup enak, harganya juga cukup murah. Masih termasuk harga standar makanan di Malaka. Setelah selesai, kami kemudian menuju sebuah area parkir umum mobil di pinggir sungai yang tersedia tempat untuk duduk-duduk. Di sana kami bertemu dengan rombongan kami yang lain (orang pemerintahan) yang seringkali tidak bergabung dengan kami karena keasikan belanja sendiri. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba diskusi serius berlangsung. Cukup seru dengan dibumbui sanggahan-sanggahan. Tapi kemudian dirusak oleh sebuah usulan/ pendapat ga penting dari si tukang belanja. Kami yang muda-muda kemudian cuma bisa geleng-geleng heran, kok bisa jauh-jauh ke Malaka tetapi yang di dapat cuma begituan aja. Dangkal banget. Kebanyakan belanja sih, ga ikutan belajar sama kita-kita. Hahahahaha.

            Cukup lama kami berdiskusi, kemudian diskusi kami terhenti karena ada sms dari Madam Josephin Chua, seorang pemerhati cagar budaya setempat. Kami pun segera bergegas menuju Cheng Hoon Teng Temple karena sms itu ternyata ajakan untuk belajar lebih jauh tentang konservasi yang pernah dilakukan oleh klenteng tersebut. Dan lagi-lagi dua orang nunut tadi tidak ikut bergabung dengan alasan salah satu dari mereka sedang sakit, padahal sebenernya kita tahu mereka masih ngincer belanjaan yang belum kesampaian. Ya sudahlah, yang mau pinter lanjut dan yang mau ehem juga lanjut. Hahahahaha.

            Kami pun melanjutkan perjalanan kami dan setelah berjalan kaki cukup lama dan panas, akhirnya kami sampai. Masuk melewati pintu utama, kami kemudian disuguhkan dengan ukiran kayu yang luar bisa indah dan rumit. Kondisinya sangat terawat. Baru beberapa saat menikmati tampilannya, kami kemudian bertemu dengan Madam Jo. Beliau kemudian bercerita tentang upaya konservasi yang telah dilakukan sehingga klenteng tersebut mendapatkan penghargaan sebagai world heritage building dari unesco. Setelah panjang lebar bercerita di dalam klenteng, kami di ajak untuk menyaksikan video dokumentasi konservasi Cheng Hoon Teng Temple. Luar biasa memang apa yang sudang dilakukan oleh mereka. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari mereka. Pertama, upaya konservasi tidak bisa dilakukan secara instan dan terburu-buru. Semua ada tahapannya dan kesabaran dalam menjalaninya. Kedua, adanya keseriusan dari stakeholder dalam hal ini adalah dewan kehormatan klenteng bersama dengan masyarakat sekitar. Mereka begitu serius dalam mengkonservasi aset mereka. Tukang kayu dari Cina langsung mereka datangkan untuk membantu upaya konservasi tersebut. Ketiga, komitmen yang tinggi dan jujur. Seperti yang saya katakan sebelumnya, konservasi membutuhkan waktu yang lama. Perlu komitmen yang tinggi untuk menjalaninya dan perlu juga kejujuran dalam pelaksanaannya. Dengan begitu, proyek konservasi dapat sukses dijalankan.

Pintu Gerbang Cheng Hoon Teng Temple


  Bagian depan Cheng Hoon Teng Temple
Detail hiasan

            Setelah selesai belajar dari Madam Jo dan Cheng Hoon Teng Temple, kami kemudian menuju Masjid Kampung Kling untuk sholat Jumat. Masjid ini juga termasuk bangunan kuno yang ada di Malaka. Kondisinya masih baik dan tidak banyak perubahan atau dapat dikatakan masih cukup asli. Salah satu keunikan masjid ini adalah, ketika sholat Jumat, khotib bergantian sesuai jadwal memberikan khutbah dalam tiga bahasa yaitu bahasa melayu, tamil, dan inggris. Kebetulan, ketika kami di sana, khotib berkhutbah dengan bahasa melayu.

            Selepas sholat Jumat, kami kemudian menuju ke kantor Badan Permuziuman Malaka. Di sana kami sudah membuat janji dengan mereka untuk mendapatkan penjelasan mengenai proses Kota Malaka menuju world heritage city. Mulai dari persiapan, strategi mereka agar mendapatkan pengakuan sampai strategi pengelolaannya. Sangat menarik apa yang kami lakukan, karena bagi kami pertemuan tersebut dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman baru yang bisa kami bawa pulang ke Indonesia. 

            Selepas pertemuan tersebut, kami kemudian melanjutkan kegiatan kami dengan berkunjung ke museum perkembangan arsitektur di Malaysia. Kami cukup beruntung karena sebenarnya museum tersebut sudah tutup, tetapi karena Madam Jo, akhirnya kami pun bisa masuk dan menikmati koleksi yang ada. Museum ini cukup menarik karena menampilkan perkembangan arsitektur di Malaysia melalui maket yang berukuran cukup besar. Ada cukup banyak maket yang tersebar di beberapa lantai, tetapi yang membuat saya takjub adalah maket dari stasiu KA di Kuala Lumpur. Detailnya sangat rapi dan ukurannya yang besar membantu saya memahami seperti apa bangunan aslinya. Saya tambah senang karena tugas akhir saya yang saat itu sedang saya susun adalah stasiun KA juga. Jadi, saya dapat tambahan referensi baru. Hehehehe. 

 Maket stasiun Kuala Lumpur
            Dari museum tersebut kami kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak bukit yang berada di dalam kawasan benteng. dari puncak bukit, kami bisa melihat kota dalam jarak pandang yang cukup jauh. Cukup menarik, tetapi kami tidak berlama-lama di sana karena kami kemudian menuju salah satu mall terdekat untuk mencari sesuatu di sana. Tak butuh waktu lama karena kami sudah berencana balik ke hostel untuk mandi dan siap-siap mengunjungi pasar malam di Jonker street.
Pasar malem di Jonker street

 Makan malem di Jonker street sama si Buba


Pasukan kancil

              Malamnya, kami ternyata berpencar. Anak-anak muda jalan berkelompok mencari makan dan melihat-lihat barang-barang yang dijajakan di Jonker street, sedangkan dosen dan orang yang dituakan lainnya juga melakukan hal yang sama. Tapi kemudian kita bertemu dan kemudian melanjutkan penelusuran untuk menikmati kota Malaka di malam hari. Kami kemudian berjalan menyusuri sungai. Banyak hal menarik yang kami temui. Supaya lebih enak dalam menjelaskannya, silakan menikmati video berikut.
Kampung Jawa



            Badan rasanya sudah tidak kuat lagi, karena seharian penuh kita beraktivitas dan berjalan kaki. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan istirahat.
Author: toni
•20.31
Hari pertama di Malaka

Sejenak, pandangan teralihkan ke jendela pesawat. Hamparan pohon sawit sangat jelas terlihat dari udara. Itu artinya, sudah sangat dekat dengan bandara LCCT Kuala Lumpur tempat saya dan yang lain mendarat. Tak lama kemudian, pesawat pun landing dan kami bergegas untuk turun. Entah kenapa, salah satu rombongan kami yang orang pemerintahan, mengajak kami untuk foto bersama di samping pesawat Air Asia yang kami tumpangi. Baru sekali jepret, kami kena damprat petugas. Satu pelajaran yang bisa diambil, jangan udik-udik kalo lagi jalan-jalan.Hahahahahaha. 


          Setelah semua urusan imigrasi selesai, kami langsung menuju sebuah kedai kopi untuk bertemu kolega kami. Setelah itu, kami pun segera menuju ke KLIA untuk mengejar bus yang menuju Malaka. Tidak perlu bingung, karena ada banyak bus yang selalu ada untuk menghubungkan dua bandara ini. Ternyata, setelah sampai di KLIA, petugas yang ada di loket tiket bus mengatakan bahwa bus ke Malaka tidak berangkat dari KLIA, tetapi dari LCCT. Padahal, informasi yang kami dapat dari internet, mengatakan bahwa ada bus ke Malaka yang berangkat dari KLIA. Lagi-lagi dapat pelajaran. Jangan percaya 100 % dengan tulisan di internet. Akhirnya kami pun kembali lagi ke LCCT.

          Agar lebih terorganisir, kami pun membagi tugas. Sebagian mencari makan siang dan sebagian mencari tiket bus ke Malaka. Kebetulan saya mendapat tugas untuk mencari tiket bus. Ternyata benar, tiket untuk bus ke Malaka di jual di LCCT. Seingat saya, tempat penjualannya ada di area keberangkatan domestik (untuk lebih tepatnya, silakan tanya petugas bandara). Alhamdulillah, kami pun bisa mendapatkan tiket bus dengan jadwal keberangkatan terakhir (sekitar jam 3 sore waktu setempat). 

Bus seperti inilah yang kami tumpangi. Bagian depan kursi 2-2, bagian belakang1-1-1
 
          Setelah menyelesaikan makan siang, kami pun langsung menuju bus. Bus-bus antarkota di Malaysia umumnya bagus dan nyaman. Jadi jangan khawatir ketika kita memilih untuk melakukan perjalanan darat di sana. Tak lama kemudian, bus pun bergerak menuju Malaka. Sepanjang perjalanan, kami hanya disuguhi dengan rimbunnya pohon-pohon besar dan jajaran pohon kelapa sawit. Jarang sekali kami menemukan permukiman. Jalan antar kotanya pun sangat bagus. Sangat lebar dan halus, seperti jalan tol. Tiap beberapa puluh kilometer, ada restarea yang biasanya menyediakan toilet umum, musholla dan kios-kios makanan.

          Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Melaka Sentral, terminal utama di kota Malaka. Kami pun segera mencari taksi untuk menuju penginapan. Satu hal yang perlu dicatat, kita harus benar-benar menawar ketika kita akan menggunakan jasa taksi. Taksi di Melaka Sentral tidak menggunakan argo dan menawarkan harga yang tinggi. Bayangkan saja, biaya yang harus kami bayar untuk naik taksi hampir menyamai harga tiket bus yang kami tumpangi sebelumnya, padahal jarak dan kualitas kendaraannya sangat jauh berbeda. Karena hari sudah hampir gelap, kami pun akhirnya tetap naik taksi meski dengan hati kesal. Di tengah perjalanan pun kami semakin dibuat kesal karena cara mengemudinya yang ugal-ugalan.


          Di tulisan bagian pertama, saya menceritakan bahwa konsep jalan-jalan kami adalah jalan-jalan ala backpacker. Jadi untuk penginapan pun kami memilih Jalan-jalan Besi dan jalan-jalan emas hostel yang merupakan backpacker hostel. Kami mendapatkannya melalui hostelworld.com. Meski bagitu, saya bisa katakan bahwa tempat kami menginap sangat nyaman dan unik karena merupakan rumah dengan gaya arsitektur Cina. Pemilik sekaligus orang yang menjalankan operasionalnya pun sangat ramah.

Hostel yang kami inapi. Di bagian depannya ada Art Gallery

          Setelah mandi dan membereskan barang-barang, kami memutuskan untuk makan malam di luar sambil keliling melihat kota di malam hari. Pilihan kami pun jatuh ke restoran India. Baru pertama kalinya makan di restoran India, saya agak terkejut dengan menu dan pelayanannya. Porsinya banyak dan banyak pilihannya. Ketika saya sedang menghabiskan makanan saya, seorang pelayan yang melihat makanan saya mulai habis mencoba menawarkan untuk menambah porsi. Saya pun geleng-geleng kepala sebagai tanda menolak. Bukannya menjauh dari saya, pelayan itu malah menambah nasi dan sejenis sayur-sayuran. Gila, sudah kenyang masih saja ditambahi. Saya baru sadar setelah diberitahu bahwa geleng-geleng bagi orang India artinya setuju atau iya. Pengalaman dan pengetahuan baru bagi saya.

Seporsi nih, belum termasuk semangkuk besar kari dan tambahan lainnya

 Ayo, cepat habiskan ! Hahahaha

 Macem-macem isinya cuy !
 
          Setelah selesai makan, kami mencoba untuk sedikit berkeliling di sekitar sungai. Kami sangat takjub dengan kota ini karena begitu cantik dan terawat. Lampu warna warni banyak menghiasi bangunan kuno yang tersebar. Pedestrian way disediakan cukup lebar sehingga kita menjadi nyaman ketika berjalan kaki. Setelah merasa cukup, kami pun memutuskan untuk kembali ke hostel.
Banyaknya lampu yang menghiasi bangunan kuno menunjukkan totalitas dalam mempercantik kota

Pedestrian way di pinggir sungai
Church of St. Francis Xavier, gerejanya beneran miring lo

Selain Jumat, Sabtu & Minggu, malam hari di Malaka sangat sepi

Bersambung ke tulisan selanjutnya.... 
Author: toni
•06.51
Dosen saya, Profesor Johan Silas, sering sekali bercerita tentang pengalamannya. Sering sekali beliau mengatakan; waktu saya tinggal di Paris, waktu saya tinggal di Kyoto, waktu saya berkunjung ke Salvadore da Bahia dan masih banyak lainnya. Wajahnya selalu sumringah ketika bercerita. Seperti sambil mengenang momen-momen yang berkesan.

Hehehehe. Saya juga tidak mau kalah. Meski tak sesering kunjungan beliau ke luar negeri dan tak sebanyak kunjungan beliau ke banyak kota di Indonesia, setidaknya saya pernah mengunjungi beberapa kota dan merasakan pengalaman yang berkesan.

Pengalaman yang saya rasakan, saya dapatkan ketika saya tinggal selama 2 bulan di Yogyakarta saat bekerja praktek. Selain itu, pengalaman tersebut saya dapatkan ketika saya sedang berlibur. Berikut adalah beberapa kota yang pernah saya kunjungi serta hal-hal yang saya tangkap tentang kota-kota tersebut:

1. Gresik
Banyak orang dari luar Jawa Timur yang tidak tahu tentang Gresik. Mereka lebih tahu Semen Gresik daripada Kabupaten Gresik. Memang, Gresik dikenal karena perusahaan semen tersebut dan kawasan industrinya. Namun, sebenarnya, Gresik punya sesuatu yang asik untuk ditelisik.

Saya mulai intens mengenal Gresik ketika saya terlibat dalam pendataan aset bangunan kuno di Gresik. Ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya. Sebuah perkampungan lama yang bernama Kampung Kemasan. Kampung ini menarik karena selain berisi bangunan lama dengan style arsitektur peranakan (campuran kolonial, cina dan jawa), juga sejarahnya. Kampung ini pernah dihuni oleh sebuah keluarga pengusaha penyamak kulit. Pemilik usaha tersebut, membeli beberapa rumah dalam satu gang untuk dibagikan ke anak-anaknya. Jadilah gang tersebut seperti halaman pribadi mereka. 

Kini, banyak rumah lama yang kosong dan tidak terawat. Meski begitu, kampung ini masih tidak kehilangan daya tarik. Setiap orang yang baru pertama kali kesana, biasanya heran, kagum, atau mungkin heboh. Hahahahaha.

Satu hal yang menurut saya luar bisa. Ada seorang keturunan keluarga pengusaha penyamakan kulit yang bernama Pak De Noot. Hingga kini beliau masih menghuni salah satu rumah di kampung kemasan. Beliau, menurut saya, adalah salah satu daya tarik kampung ini. Mengapa? Dedikasinya luar bisaa terhadap pelestarian sejarah. Beliau sangat senang bila ada orang yang berkunjung dan bertanya pada beliau tentang kampung Kemasan. Tidak bisa saya pungkiri, selama berkutat dengan Gresik, belaiulah yang selalu membuat saya dan teman-teman saya kembali ke Gresik. Semakin lama mengenalnya, semakin banyak yang bisa didapat dan dipelajari.

Lalu bagaimana dengan kotanya? Tidak banyak yang saya dapatkan. Hehehehehehe

2. Yogyakarta
Dua bulan saya hidup sebagi perantau disana. Minggu pertama, saya bermasalah dengan air sumur yang membuat gatal kulit saya. Namun, setelah itu saya mulai menikmati Yogyakarta. Terus dan terus. Nyaman, murah, ramah bisa saya dapatkan setiap hari.

Ada satu hal yang saya sangat sukai dari kota ini. Transportasi publiknya. Saya benar-benar bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap motor. Meski hanya dengan bus kecil, saya bisa pergi kemanapun yang saya mau. Saya bisa benar-benar merasa tidak butuh kendaraan pribadi.

Masyarakatnya juga asik dan ramah. Setelah sekian lama saya tidak merasakan sebuah keguyuban, tiba-tiba saya berada di sebuah daerah di Gunung Kidul dan dihadapkan pada sebuah suasana dimana lelaki tua dan dewasa bekerja sama membangun jalan desa. Wanita dan anak-anak tidak terlihat hanya sekedar menyiapkan masakan. Mereka juga ikut membantu dengan membawa ember-ember kosong untuk diisi kembali serta membawa yang sudah terisi ke gerombolan laki-laki yang sedang bekerja. Benar-benar membuat saya merinding. Di tengah kondisi mereka yang kurang (miskin), mereka masih mau berbagi dan saling membantu.

Dan yang terakhir, saya benar-benar merasakan atmosfer seni di kota ini. Hal yang sering dilupakan pun, tak luput dari sentuhan seni. Tengok saja sebuah kotak pos yang tersebar di beberapa tempat.

3. Bandung
Gila. Kota ini seru karena masyarakatnya kreatif. Ketika saya berada di Bandung, saya sedang mengikuti pertemuan nasional Green Map. Hari Minggu pagi, kami semua yang berasal dari beberapa kota di Indonesia diajak untuk merasakan Car Free Day di daerah Dago. Saya tersenyum ketika melihat cara teman-teman Green Map Bandung menyosialisasikan project mereka. Sebuah banner besar (peta Bandung) mereka gelar di pinggir jalan. Setiap orang yang lewat, diajak untuk mampir melihat banner tersebut. Mereka semua diajak untuk memberikan masukan informasi tentang permasalahan sampah di lingkungan mereka. Setiap orang akan menempelkan sebuah stiker untuk menandai lokasi dimana sampah menjadi masalah. Cara ini sangat kreatif karena mengajak masyarakat untuk berpartisipasi serta membuat masyarakat sadar akan kondisi lingkungan mereka tanpa harus mengeluarkan banyak uang, menghabiskan banyak waktu, dan tenaga. 

bersambung ke tulisan berikutnya.....